Representasi visual dari koleksi hukum yang komprehensif.
Al-Mudawwanah Al-Kubra, sering kali diterjemahkan sebagai "Kompilasi Besar" atau "Kumpulan Agung," merupakan salah satu karya fundamental dalam studi fikih Islam kontemporer, khususnya dalam lingkup mazhab Maliki. Karya monumental ini bukan sekadar catatan hukum biasa, melainkan sebuah upaya sistematis untuk mengorganisasi dan memperjelas pandangan-pandangan hukum yang berkembang dalam tradisi fikih, menjadikannya referensi krusial bagi para ulama, akademisi, dan praktisi hukum Islam di berbagai belahan dunia.
Meskipun nama Al-Mudawwanah secara historis merujuk pada karya Imam Sahnun, konteks modern dari "Al-Mudawwanah Al-Kubra" yang dibahas di sini seringkali merujuk pada inisiatif kompilasi besar yang bertujuan mengumpulkan dan memfinalisasi pandangan-pandangan hukum Maliki yang tersebar luas. Karya ini berakar kuat pada tradisi keilmuan yang diletakkan oleh ulama-ulama besar seperti Imam Malik bin Anas, yang pemikiran hukumnya kemudian dikodifikasi oleh murid-muridnya.
Proses penyusunan karya sekelas Mudawwanah Al-Kubra melibatkan studi mendalam terhadap 'amali (praktik) Madinah, qaul jadid (pendapat baru) yang muncul, serta perbandingan dengan pandangan mazhab lain. Tujuannya adalah menciptakan satu sumber rujukan utama yang mencakup spektrum luas permasalahan fikih, mulai dari ibadah, muamalah (transaksi), hingga hukum keluarga dan jinayat (pidana). Ukurannya yang besar mencerminkan kedalaman dan keluasan cakupan materi yang ingin dijamah.
Dalam era modern, di mana tantangan hukum baru terus bermunculan—terkait isu ekonomi global, teknologi, dan perubahan sosial—kitab-kitab kompilasi besar seperti Al-Mudawwanah Al-Kubra berfungsi sebagai jangkar teoretis. Ia menyediakan metodologi berpikir (usul al-fiqh) yang kokoh untuk menanggapi isu-isu yang tidak secara eksplisit disebutkan oleh para fuqaha terdahulu.
Para ahli hukum kontemporer memanfaatkan struktur dan kerangka berpikir dalam Mudawwanah untuk melakukan istinbat al-hukm (pengambilan kesimpulan hukum). Mereka mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar (maqasid al-shari'ah) yang terkandung dalam teks-teks tersebut dan menerapkannya pada konteks kekinian. Oleh karena itu, karya ini bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan dokumen hidup yang terus diinterpretasikan.
Struktur Al-Mudawwanah Al-Kubra biasanya diorganisasikan secara tematik (kitab) dan sub-tematik (bab). Pembagian ini memudahkan peneliti untuk melacak hukum terkait suatu topik spesifik. Metodologi yang digunakan seringkali mencerminkan cara para ulama Maliki dalam memprioritaskan sumber hukum, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, diikuti oleh Ijma' (konsensus), Qiyas (analogi), dan kemudian sumber-sumber lokal seperti 'amal ahl al-Madinah (praktik penduduk Madinah).
Keistimewaan lain dari kompilasi ini adalah presentasi multi-perspektif. Dalam banyak kasus, Mudawwanah tidak hanya menyajikan satu pendapat, tetapi juga mencantumkan pendapat yang berbeda dalam mazhab itu sendiri—seperti pandangan yang lebih ketat (al-ghalib) dan pandangan yang lebih longgar (al-mukhtalaf). Hal ini menunjukkan kedewasaan intelektual penulis dalam mengakui kompleksitas interpretasi hukum.
Meskipun kekayaan ilmunya tak terbantahkan, membaca dan memahami Al-Mudawwanah Al-Kubra membutuhkan keahlian khusus karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab klasik yang padat dan terminologi fikih yang spesifik. Tantangan terbesar bagi generasi saat ini adalah bagaimana 'menerjemahkan' fatwa-fatwa kontekstual masa lalu menjadi solusi praktis masa kini tanpa mengorbankan integritas syariah.
Pada akhirnya, Al-Mudawwanah Al-Kubra tetap menjadi mercusuar keilmuan. Kehadirannya menegaskan bahwa fikih Islam adalah disiplin ilmu yang dinamis, yang dibangun di atas fondasi teks-teks klasik yang kokoh, namun senantiasa mencari relevansi di tengah pusaran zaman. Karya ini adalah warisan intelektual yang mendorong umat untuk selalu menimbang, menganalisis, dan mencari kebenaran hukum dengan metodologi yang teruji.